MUJMAL MUBAYYAN
direvisi Oleh : Hermanto Abdul ghofur
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Quran merupakan sumber pedoman bagi manusia untuk senantiasa
mengabdi pada Tuhanya. Dalam al-Quran tidak lepas dari permasalahan secara
lafad maupun makna. Masalah lafad seperti: gharib al-lafdhi, mu’arrab, majaz
al-mushtarak, iati’arah, dan tashbih. Sedangkan masalah secara makna
terbagi menjadi:
a. Makna yang berkaitan dengan
lafad seperti: al-fasl, al-wasl, al-ijaz, al-itnab dan al-qasr
b. Makna yang berkaitan dengan hukum
seperti: al-‘amm wa al-khas, al-mutlaq wa al-muqayyad, al-mujmal wa al-mubayyan,
al-mantuq wa al-mafhum, al-muawwal dan al-naskh wa al-mansukh.
Dan
dalam makalah ini akan mengkaji tentang hal-hal yang berkaitan dengan mujmal
dan mubayyan meliputi permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
- Pengertian
mujmal dan mubayyan
- hukum mujmal
- sebab-sebab
mujmal
- Ayat-ayat
yang masih kontroversi mujmal atau mubayyan
- Perbedaan
antara mujmal dan muh}tamil
- Hikmah
menggunakan mujmal
- Bentuk-bentuk
bayyan pada lafad mujmal dalam al-Quran
- Klasifikasi
bayyan
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian mujmal dan mubayyan
Secara Etimologi Mujmal berasal dari kata ajmala
al-shai’a yaitu, ketika seseorang mengumpulkan sesuatu hingga
antara satu dengan lainya menjadi bercampur yang pada ahirnya sulit untuk
membedakanya. Sedangkan secara Terminologi mujmal adalah (1):
مَالَمْ تَتَّضِحْ دِلاَلَتُهُ.
Mujmal ialah suatu
lafad yang tidak jelas dilalahnya (maksudnya).
Sedangkan mubayyan adalah antonim dari mujmal, yaitu
berasal dari lafad bayyan bermakna menjelaskan. Namun terkadang
diartikan untuk sesuatu yang bisa menjadi penjelas dalam hal ini disebut
sebagai dalil, dan terkadang diarahkan pada hasil dari bayyan hal
ini disebut sebagai madlul. Menurut al-Sairafiy menjelaskan bahwa mubayyan
adalah:
هُوَ الإِخْرَاجُ
مِنْ حَيْزِ الإِشْكَالِ إِلَى التَّجَالِّى وَالوُضُوْحِ
Mengeluarkan suatu kesulitan menuju makna terang dan jelas.
b. Hukum mujmal
Dari definisi diatas, dapat dimbil pemahaman bahwa jika ditemukan
suatu lafad yang mujmal, baik dalam al-Quran maupun Hadis, maka status
hukum yang terkandung di dalamnya harus ditangguhkan selama belum menemukan
dalil lain yang bisa menjelaskanya. Akan tetapi jika sudah ditemukan penjelasan
(bayyan) dari lafad atau dalil lain, maka barulah lafad mujmal tersebut
dipakai dan dilaksanakan semua ketentuan hukumnya sesuai dengan bayyannya.
Contoh ada ayat mujmal (misalnya kewajiban shalat dalam
al-Quran), maka yang harus dilakukan adalah mencari bayyan yang cocok
dengan lafad tersebut (misalnya hadis tentang praktek shalat). Dalam hal ini
hadis dapat memberikan penjelasan pada lafad mujmal sepanjang tidak ada
penjelasan al-Quran. Oleh sebab itu, untuk mencari penjelas (bayyan)
lafad mujmal terlebih dahulu harus mencarinya dari nas al-Quran,
baru kemudian mencarinya dari al-Hadis
c. Sebab-sebab mujmal
Menurut al-zarkashiy,
lafad Mujmal memiliki beberapa sebab diantaranya
1.
Ishtirak seperti dalam QS. Al-Baqarah: 228
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ
ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكۡتُمۡنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ
فِيٓ أَرۡحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤۡمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنۡ أَرَادُوٓاْ إِصۡلَٰحٗاۚ
وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ
دَرَجَةٞۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
228. wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[142]..
[142] Quru' dapat
diartikan suci atau haidh.
[143] Hal ini disebabkan
karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan Kesejahteraan rumah
tangga (Lihat surat An Nisaa' ayat 34).
Mujmal karena lafad quru>’
tersebut masih belum jelas dilalahnya (maksudnya). Hal ini
disebabkan lafad quru’ secara Etimologi memiliki dua makna yaitu
datang bulan (haid) dan bersuci.
2. al-Hadhf
(pembuangan) seperti QS. Al-Nisa’: 127
وَيَسۡتَفۡتُونَكَ فِي ٱلنِّسَآءِۖ قُلِ ٱللَّهُ
يُفۡتِيكُمۡ فِيهِنَّ وَمَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ فِي يَتَٰمَى
ٱلنِّسَآءِ ٱلَّٰتِي لَا تُؤۡتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرۡغَبُونَ أَن
تَنكِحُوهُنَّ وَٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلۡوِلۡدَٰنِ وَأَن تَقُومُواْ
لِلۡيَتَٰمَىٰ بِٱلۡقِسۡطِۚ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ
بِهِۦ عَلِيمٗا
127. dan mereka minta fatwa kepadamu
tentang Para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang
mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran[354] (juga memfatwakan)
tentang Para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa[355]
yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka[356] dan
tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya
kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu
kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya.
Menurut
al-zarkashiy, ayat tersebut mujmal karena terdapat kemungkinan setelah
lafad targhabu ada pembuangan huruf “fi” yang berarti memiliki
makna “senang menikahinya karena sedikit hartanya” atau kemungkinan ada
pembuangan huruf “’an” yang bermakna “membenci menikahinya karena
sedikit hartanya”. Kedua makna tersebut mungkin terjadi karena dalam gramatikal
arab kata raghiba memiliki makna bila dikaitkan setelahnya, jika
setelahnya berupa huruf fi maka bermakna senang dan jika setelahnya berupa
huruf ‘an maka bermakna benci.
3. perbedaan
mengembalikan Damir (kata ganti) seperti QS. Fatir: 10
مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلۡعِزَّةَ فَلِلَّهِ
ٱلۡعِزَّةُ جَمِيعًاۚ إِلَيۡهِ يَصۡعَدُ ٱلۡكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلۡعَمَلُ
ٱلصَّٰلِحُ يَرۡفَعُهُۥۚ وَٱلَّذِينَ يَمۡكُرُونَ ٱلسَّئَِّاتِ لَهُمۡ عَذَابٞ شَدِيدٞۖ وَمَكۡرُ أُوْلَٰٓئِكَ هُوَ
يَبُورُ
10. Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi
Allah-lah kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang
baik] dan amal yang saleh dinaikkan-Nyadan orang-orang yang merencanakan
kejahatan bagi mereka azab yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur.
Mujmal karena pada fa’il
pada lafad yarfa’u terdapat kemungkinan kembali pada Allah seperti
halnya damir yang ada pada lafad ilaih. Dengan demikian teks
tersebut bermakna “kepada Allah naik perkataan baik dan Allah menaikan amal
shaleh”, atau kemungkinan kembali pada lafad al-‘amal al-salih yang
berarri bermakna “amal shaleh bisa mengangkat kalimat t}ayyib (kalimat
tauhid)” atau kemungkinan kembali pada lafad al-kalim al-tayyib yang
berarti bermakna “kalimat tauhid mengangkat amal saleh”, karena amal tidak akan
di rafa’ (diangkat) oleh Allah kecuali disertai dengan Iman.
4. kemungkinan ‘ataf
atau isti’na f (awal kalimat)seperti QS. al-‘Imran: 7
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ مِنۡهُ
ءَايَٰتٞ مُّحۡكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٞۖ فَأَمَّا
ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٞ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ
ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ وَمَا يَعۡلَمُ
تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ
ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ
ٱلۡأَلۡبَٰبِ
7. Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di
antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[183], Itulah pokok-pokok isi Al
qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[184]. Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian
ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan
Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal.
5. Gharaba t
al-lafdhi seperti QS. al-Baqarah: 232
وَإِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغۡنَ
أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحۡنَ أَزۡوَٰجَهُنَّ إِذَا تَرَٰضَوۡاْ
بَيۡنَهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ مِنكُمۡ يُؤۡمِنُ
بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۗ ذَٰلِكُمۡ أَزۡكَىٰ لَكُمۡ وَأَطۡهَرُۚ
وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
232. apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya[146], apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan
cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih
suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
1. Taqdim (mendahulukan)
dan Ta’khi r (mengahirkan) seperti QS. al’a’raf: 187
.
يَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلسَّاعَةِ أَيَّانَ مُرۡسَىٰهَاۖ قُلۡ إِنَّمَا
عِلۡمُهَا عِندَ رَبِّيۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقۡتِهَآ إِلَّا هُوَۚ ثَقُلَتۡ فِي
ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ لَا تَأۡتِيكُمۡ إِلَّا بَغۡتَةٗۗ يَسَۡٔلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنۡهَاۖ قُلۡ إِنَّمَا عِلۡمُهَا
عِندَ ٱللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ
Mujmal karena
kemungkinan susunannya adalah:
2.
Qalb al-manqu l (membalik susunan) QS. al-Saffa t: 130
سَلَٰمٌ
عَلَىٰٓ إِلۡ يَاسِينَ إِنَّا
d. Ayat-ayat yang masih kontroversi mujmal dan
mubayyan
Dalam al-Quran banyak sekali ditemukan lafad-lafad yang masih
diperselisihkan apakah termasuk mujmal atau mubayyan. Dalam hal
ini al-Shuyu t I menyebutkan beberapa
ayat diantaranya (4):
1.
Ayat Shariqah QS. al-maidah: 38
وَٱلسَّارِقُ
وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا
مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ
Mujmal karena kata yad
dalam literatur arab bisa digunakan untuk organ tubuh sampai kepergelangan
tangan, atau sampai ke siku-siku dan terkadang untuk organ tubuh sampai ke
bahu.
Sebagian
pendapat mengatakan tidak mujmal, karena dalam pemotongan tangan dalam
pencurian sudah nampak jelas, yaitu memotong sampai putus.
2.
QS. al-maidah: 6
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ
فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ
بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبٗا
فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ
مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ
فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم
مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ
لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ
Menurut
suatu pendapat ayat ini kategori mujmal karena lafad mashu (mengusap)
kemungkinan mengusap sebagian kepala atau keseluruhanya.
Pendapat
lain mengatakan tidak mujmal karena kata mashu dalam ayat
ini disebutkan secara mutlak, yang berarti mengarah pada mengusap sebagian
kepala. Selain itu Rasulullah SAW pada waktu wudlu pernah mengusap ubun-ubun
kepala.
3.
QS. al-Baqarah: 275
ٱلَّذِينَ
يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ
إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ
ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا
سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ
ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ
Mujmal karena riba adalah
ziyadah (tambahan). Sedangkan dalam transaksi jual beli tidak
lepas dari yang namanya tambahan (laba). Oleh sebab itu membutuhkan penjelas,
antara jual beli yang haram dan yang halal.
Pendapat
lain menjelaskan tidak termasuk Mujmal karena lafad bai’ adalah manqul
syar’an (pidahan dari syara’), maka dari itu kata ini diarahkan pada makna
keumumanya selama tidak ada yang menentukanya.
4.
Ayat-ayat yang memuat istilah syara’ seperti kata shalat dalam QS. al-baqarah:
43
atau
kata al-saum (puasa) dalam QS. al-baqarah: 185
dan
kata haji dalam QS. al-imran: 97
Lafad
al-s}alat atau al-saum dan al-haj dalam ayat di atas
termasuk mujmal karena kemungkinan mengarah pada makna lughawi (secara
bahasa) yakni, al-salat bermakna “setiap do’a”, kata al-saum bermakna
“menahan setiap hal” dan kata al-haj bermakna “setiap tujuan”.
Pendapat
lain mengatakan tidak mujmal karena semua lafad tersebut dikembalikan
pada syara’ selama tidak ada dalil yang menjelaskanya.
e. Perbedaan antara mujmal dan muhtamil
Ibn al-has a r mengemukakan bahwa kebanyakan orang menganggap Mujmal
dengan muh}tamil adalah sama. Padahal kedua istilah tersebut
memiliki makna yang berbeda. Sebagaimana penjelasan sebagai berikut:
اللَفْظُ الْوَاقِعُ
بِالْوَضْعِ الأَوَّلِ مَفْهُوْمَيْنِ فَصَاعِدًا
Mujmal adalah lafad
yang sejak awal peletakanya memiliki makna yang dipahami dua keatas, baik makna
haqiqat (makna asal) semua atau sebagian.
Sedangkan Muh}tamil adalah:
اللَّفْظُ
الْمُبْهَمُ الَّذِى لاَيُفْهَمُ الْمُرَادُ مِنْه
Muh}tamil adalah lafad mubham
(samar) yang tidak dipahami maknanya.
Dengan demikian perbedaan keduanya adalah: Mujmal lafad yang
menunjukan makna yang telah diketahi sebelumnya. Sedangkan Muh}tamil ialah
lafad samar yang tidak diketahui maknanya (5).
f. Hikmah menggunakan mujmal
Mujmal adalah salah
satu bagian dari mutashabih. lafad mujmal memiliki beberapa
faidah yang sangat besar manfaatnya diantaranya ialah
1.
Mengandung hikmah yaitu menguji, merangsang akal untuk berpikir bagi setiap
orang yang memikirkanya
2.
Memperoleh derajat ilmu serta mendapat kemuliaanya
3.
Memperlihatkan kadar jerih payah dalam mencari kebenaran
4.
Menambah ketenangan hati (iman) karena akan mengetahui bahwa al-quran
benar-benar berasal dari Allah SWT.
g. Bentuk-bentuk bayyan pada lafad mujmal
dalam al-Quran
Al-Zarkashiy dalam kitabnya menjelaskan, lafad-lafad dalam al-Quran
terdiri dari lafad nas dan d{ahir.
Lafad nas ialah lafad yang
tidak bisa mengarah pada makna lain seperti lafad thalathah dan sab’ah
dalam QS. Al-baqarah: 196
Sedangkan
lafad dhahir ialah lafad yang menunjukan suatu makna, namun bisa
mengarah pada makna lain. Namun yang berkaiatan dengan mujmal adalah
lafad dhahir. Lafad dhahir memiliki beberapa qarinah (tanda-tanda)
yaitu qarinah lafdiyah dan qarinah ma’nawiyah.
1. Qarinah
lafdiyah ini dibagi menjadi:
a.
Muttasilah, qarinah ini dibagi menjadi dua:
1)
Qarinah yang bisa menghilangkan semua kemungkinan makna yang terdapat di
suatu lafad, Dengan adanya qarinah ini maka makna pada lafad tersebut
akan menjadi sempit . Hal ini disebut dengan istilah tahsis wa ta’wil.
Seperti QS. Al-baqarah: 275 “wa harrama al-ribas”. Lafad ini sebagai
penjelas pada lafad “wa ahalla allah al-bai’a”. Oleh sebab itulah lafad al-bai’a
menunjukan makna sebagian, yakni tidak semua transaksi jual beli hukumnya
halal, karena selama ada unsur riba maka jual beli haram hukumnya.
2)
Qarinah yang menampakan arti dari suatu lafad. Hal ini disebut dengan
istilah bayyan, seperti QS. Al-baqarah: 187
187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan
nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu,
dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu
fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115] dalam mesjid.
Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
Lafad
“al-fajr” menjadi penjelas pada ayat “al-khait} al-abyad} min
al-khait} al-aswadh”. Seandainya tidak ada lafad al-fajr
maka ayat tersebut tetap pada kemujmalanya.
b.
Munfasilah (terpisah dengan ayat lain) dan terbagi menjadi:
1)
Ta’wil seperti dalam QS. Al-baqarah: 230
230. kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang
kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan
suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak
ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum
Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
B. Mubayyan
1.Pengertian
Mubayyan secara bahasa
(etimologi) : (المظهر والموضح) yang ditampakkan dan yang dijelaskan.
Sedangkan secara terminologi Mubayyan adalah seperti yang didefinisikan oleh
al-Asnawi sebagai berikut
“Mubayyan adalah lafaz yang jelas (maknanya)
dengan sendirinya atau dengan lafazlainya”.
Ada yang mendifinisikan Mubayyan sebagai berikut:
ما يفهم
المراد منه، إما بأصل الوضع
أو بعد التبيين
“Apa yang dapat difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya
atau setelah adanya penjelasan.”
Contoh yang dapat difahami
maksudnya dengan asal peletakannya : lafadz langit (سماء), bumi (أرض), gunung (جبل), adil (عدل), dholim (ظلم), jujur (صدق). Maka, kata-kata ini dan yang semisalnya
dapat difahami dengan asal peletakannya, dan tidak membutuhkan dalil yang lain
dalam menjelaskan maknanya.
Contoh yang dapat difahami maksudnya setelah adanya penjelasan :
Firman Alloh ta’ala :
“Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat” (Al-Baqoroh : 43)
Maka mendirikan
sholat dan menunaikan zakat, keduanya adalah mujmal,
tetapi pembuat syari’at (Allah ta’ala) telah
menjelaskannya, maka lafadz keduanya menjadi jelas
setelah adanya penjelasan.
Dalam hubungannya dengan Mubayyan , maka dapat kita pahami ada tiga hal disini.
Pertama adanya lafaz yang mujmal yang memerlukan penjelasan atau disebut
Mubayan (yang dijelaskan). Kedua ada lafaz lain yang menjelaskan lafaz yang
Mujmal tadi atau disebut Mubayyin (yang menjelaskan. Dan yang ketiga adanya
penjelasana atau disebut Bayan.
2. Macam-Macam Bayan (
Penjelasan )
Dalam pembahasan selanjutnya, para Ulama Ushul membuat kategori daripada penjelasan
atau Bayan tersebut. Ulama Syafiiyah membagi bayan kepada 7 macam sebagai
berikut :
Penjelasan dengan perkataan , contohnya, Allah
SWT menjelaskan lafaz سبعة ( tujuh ) pada surat al-Baqarah ayat 196, tentang jumlah hari
puasa bagi yang tidak mampu membayar dam (hadyu) pada haji Tamattu’. Dalam
bahasa Arab lafaz tujuh sering ditujukan kepada arti ‘banyak’ yang bisa lebih
dari tujuh. Untuk menjelaskan ‘tujuh’ itu betul-betul tujuh maka Allah SWT
mengiringi dengan firman-Nya “itu sepuluh hari yang sempurna”
Penjelasan dengan mafhum perkataan, contohnya,
firman Allah SWT dalam surat al-Isra’ ayat 23, tentang larangan mengatakan اف”ah”
kepada kedua orang tua. Mafhum dari ayat tersebut adalah melarang seseorang
anak menyakiti orang tuanya, seperti memukul dan lain-lain, karena mengucapkan
“ah” saja tidak boleh, apalagi memukul.
Penjelasan dengan perbuatan,contoh. Rasulullah
SAW menjelaskan perintah mendirikan shalat, dalam ayat al-Quran, lalu
Rasulullah SAW mencontohkan cara melakukan shalat tersebut.
Penjelasan dengan Iqrar “pengakuan” contohnya,
Rasulullah melihat Qayis shalat dua raka’at sesudah shalat Subuh, maka
Rasulullah bertanya kepada Qayis, lalu Qayis menjawab dua raka’at itu adalah
shalat sunat fajar. Rasulullah tidak melarang. Ini menunjukkan dibolehkan
shalat sunat sesudah shalat Subuh.
Penjelasan dengan Isyarat, contohnya penjelasan
Rasulullah SAW tentang jumlah hari dalam satu bulan. Beliau mengangkat
kesepuluh jarinya tiga kali, yakni 30 hari. Kemudian mengulanginya sambil
membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir. Maksdunya bahwa bulan itu
kadang-kadang 30 hari atau kadang-kadang 29 hari.
Penjelasan dengan tulisan, contohnya Rasulullah
SAW menyuruh juru tulis beliau menuliskan hukum-hukum mengenai pembagian harta
warisan dan lain-lain.
Penjelasan dengan qiyas, contohnya Rasulullah
SAW menjawab seorang penanya melakukan haji untuk ibunya yang sudah meninggal.
Rasullullah bertanya, ‘bagaimana kalau ibumu punya hutang, apa kamu bisa
membayarnya?. Hadits tersebut menqiyaskan mengganti haji orang tua dengan
membayar hutangnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Mujmal secara bahasa : (المبهم والمجموع) mubham (yang tidak diketahui) dan
yang terkumpul.
2.
Mujmal dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama,
al-Mujmal adalah lafazh atau kata yang tidak jelas ( global ) artinya. Kedua
disamping tidak jelas artinya, tidak pula terdapat petunjuk atau qorinah yang
menjelaskan arti global dari kata tersebut. Jadi ketidak jelasan atau kesamaran
arti kata al-Mujmal berasal dari kata itu sendiri bukan karena factor eksternal
dari luar kata tersebut. Ketiga, jalan untuk mengetahui maksud Mujmal tidak dalam
batas kemampuan akal manusia, tetapi satu-satunya jalan untuk memahami adalah
melalui penjelesan dari yang me-mujmalkan atau dalam hal ini Syari’.
3.
Ulama Ushul fiqih sependapat bahwa
lafaz yang Mujmal tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, sebelum ada dalil
lain yang menjelaskannya.
4.
Mubayyan secara bahasa : (المظهر
والموضح)
yang ditampakkan dan yang dijelaskan.
5.
Menurut istilah Ulama Ushul fiqih Mubayyan
adalah apa yang dapat difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya atau
setelah adanya penjelasan.
6.
Ulama Ushul fiqh sependapat bahwa tidak boleh
ada penundaan bayan dari waktu pelaksanaannya. Alasannya, tidak mungkin Allah
SWT mengungkap suatu hukum yang mujmal kemudian masuk waktu pelaksanaannya,
sementara bayan terhadap hukum yang mujmal itu belum ada. Hal ini tidak pernah
dan tidak akan dijumpai dalam syari’at Islam.
7.
Lafaz Mujmal yang telah diberi penjelasan tidak
lagi dikategorikan lafaz yang mubham.
B. Kata Penutup
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah kepada
Allah SWT. Yang telah melimpahkan Taufik, Hidayah serta Inayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan harapan, semoga usaha kami yang
kecil ini diridloi oleh Allah SWT. Dan bermanfat bagi nusa, bangsa dan agama.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan, namun kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyajikan yang
terbaik. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan supaya ke
depannya nanti akan menjadi lebih baik.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya makalah ini,semoga Allah SWT. Akan membalas di hari kelak dan
hanya kepada Allah SWT. Kami berlindung serta mengharapkan taufiq da
hidayah-Nya. Amin ya robbal ’alamin.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Drs. H. A. Syafi’i karim, Fiqih ushul figh,CV.
Pustaka Setia Bandung, 2006.
2.
Http:///F:/Mujmal-Dan-Mubayyan.htm
3.
Prof.DR.Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, tahun 1998.
0 Response to " "
Post a Comment