Masalah Fatihah dan Basmalah
Sunday, October 26, 2014
Add Comment
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah membaca Basmalah dalam fatihah shalat merupakan salah satu
masalah besar dalam agama Islam karena menyangkut sah atau tidaknya shalat. Bagaimanakah
hukum membaca basmalah dalam surat al-Fatihah ketika shalat? Dan kalau wajib,
apakah harus dikeraskan bacaannya? Membaca Basmalah merupakan ibadah yang
paling besar sesudah tauhid, demikian dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab
al-Majmu juz III, hal.334.
“ Manusia yang paling
baik di antara kamu ialah orang yang belajar Al-qur’an dan mengajarkannya, “
Sabda Rasulullah saw. Hadis ini adalah sebagian di antara hadis-hadis yang
berkenan dengan keutamaan mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya. Hadis-hadis
seperti itu disebut fadhail” berasal dari kata fadhilah yang berarti keutamaan,
kebajikan atau manfaat utama. Hadis fadhail meskipun dhaif boleh disebarkan
untuk mendorong orang beramal shaleh. Di sini kami akan hadis-hadis yang
berkenaan dengan dengan keutamaan al-fatihah, dengan sedapat mungkin merujuk
pada hadis-hadis yang shahih atau paling tidak hasan. Ketika kita menyebutkan
hadis-hadis tentang nama-nama al-fatihah, di sini kita akan mengemukakan
sebagian dari keutamaan al fatihah.
B. Ruang Lingkup Pembahasan
B. Ruang Lingkup Pembahasan
Agar
pembahasan didalam makalah kami mudah dipahami, maka kami membatasi pembahasan
dalam makalah kami, yaitu :
1. Sekilas
tentang lafadz basmallah
2. Bagaimana
pendapat para imam madzhab tentang bacaan basmallah…?
C. Tujuan
Pembahasan
1.
Menjelaskan tentang lafadz basmallah
2.
Untuk menjelaskan berbagai pendapat para imam madzhab tentang bacaan basmallah.
D. Manfaat
Kita
dapat mengetahui pendapat para imam madzhab mengenai bacaan basmallah dalam
surat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Membaca Al Fatihah
Jumhur ulama menyatakan
membaca Al Fatihah adalah termasuk rukun shalat. Tidak sah shalat tanpa membaca
Al Fatihah. Diantara dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam
لا صلاةَ لمن
لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
“tidak ada shalat
bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756,
Muslim 394)
didukung juga sabda
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
كلُّ صلاةٍ
لا يُقرَأُ فيها بأمِّ الكتابِ ، فَهيَ خِداجٌ ، فَهيَ خِداجٌ
“setiap shalat yang
di dalamnya tidak dibaca Faatihatul Kitaab, maka ia cacat, maka ia cacat”
(HR. Ibnu Majah 693, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Jadi, membaca Al
Fatihah adalah rukun shalat dan inilah yang benar insya Allah.
Adapun Abu Hanifah,
beliau berpendapat bahwa membaca Al Fatihah itu bukan rukun shalat, tidak wajib
membacanya. Beliau berdalil dengan ayat:
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“maka bacalah
ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20)
Jawabannya, kata فَاقْرَءُو (bacalah) di sini adalah
lafadz muthlaq, sedangkan terdapat qayd-nya dalam
hadits-hadits Nabi yang sudah disebutkan bahwa di sana dinyatakan bacaan Al
Qur’an yang wajib di baca dalam shalat adalah Al Fatihah. Sesuai kaidah ushul
fiqh, yajibu taqyidul muthlaq bil muqayyad, wajib membawa makna
lafadz yang muthlaq kepada yang muqayyad.
Al Fatihah wajib di
baca pada setiap raka’at. Berdasarkan penjelasan Abu
Hurairah radhiallahu’anhu berikut:
في كلِّ صلاةٍ قراءةٌ ، فما أَسْمَعَنَا النبيُّ صلى الله عليه وسلم
أَسْمَعْناكم ، وما أخفى منا أَخْفَيْناه منكم ، ومَن قرَأَ بأمِّ الكتابِ فقد
أَجْزَأَتْ عنه ، ومَن زادَ فهو أفضلُ
“dalam setiap
raka’at ada bacaan (Al Fatihah). Bacaan yang diperdengarkan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami, telah kami perdengarkan kepada kalian.
Bacaan yang Rasulullah lirihkan telah kami contohkan kepada kalian untuk
dilirihkan. Barangsiapa yang membaca Ummul Kitab (Al Fatihah) maka itu
mencukupinya. Barangsiapa yang menambah bacaan lain, itu lebih afdhal” (HR.
Muslim 396)
B. Hukum Membaca Al Fatihah Bagi Makmum
Apakah status rukun dan
hukum wajib membaca Al Fatihah itu berlaku untuk semua orang yang shalat? Para
ulama sepakat wajibnya membaca Al Fatihah bagi imam dan orang yang shalat
sendirian (munfarid). Namun bagi makmum, hukumnya di perselisihkan oleh
para ulama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa
war Rasail (13/119) mengatakan: “para ulama berbeda pendapat mengenai
hukum membaca Al Fatihah menjadi beberapa pendapat:
- Pendapat pertama: Al Fatihah tidak
wajib baik bagi imam, maupun makmum, ataupun munfarid. Baik shalat sirriyyah
maupun jahriyyah. Yang wajib adalah membaca Al Qur’an yang mudah
dibaca. Yang berpendapat demikian berdalil dengan ayat (yang artinya) “maka
bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20) dan
juga dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada
seseorang: ‘bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur’an‘” (HR. Al
Bukhari 757, Muslim 397).
- Pendapat kedua: membaca Al
Fatihah adalah rukun bagi imam, makmum, maupun munfarid. Baik
shalat sirriyah maupun jahriyyah. Juga bagi
orang yang ikut shalat jama’ah sejak awal.
- Pendapat ketiga: membaca Al
Fatihah itu rukun bagi imam dan munfarid, namun tidak wajib bagi makmum
secara mutlak, baik dalam shalat sirriyyah maupun jahriyyah.
- Pendapat keempat: membaca Al
Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah
dan jahriyyah. Namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah
saja, jahriyyah tidak.”
Ada beberapa pendapat
lain dalam masalah ini, namun khilafiyah dalam masalah ini
berporos pada 3 hal:
Pertama:
Adanya perintah untuk membaca Al Fatihah serta penafian shalat jika tidak
membacanya
Syaikh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin berkata, “membaca Al Fatihah adalah rukun bagi semua orang
yang shalat, tidak ada seorangpun yang dikecualikan, kecuali makmum masbuq yang
mendapati imam sudah ruku’, atau mendapat imam masih berdiri namun sudah tidak
sempat membaca Al Fatihah bersama imam. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam
لا صلاةَ لمن
لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
“tidak ada shalat
bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab”
sabda beliau ‘tidak
ada shalat‘ merupakan penafian. Asal penafian adalah menafikan wujud
(keberadaan), jika tidak mungkin dimaknai penafian wujud maka maknanya penafian
keabsahan. Dan penafian keabsahan itu artinya penafian wujud secara syar’i.
Jika tidak mungkin dimaknai penafian keabsahan maka maknya penafian
kesempurnaan. Inilah tingkatan penafian” (Syarhul
Mumthi, 3/296).
Syaikh Al Utsaimin
melanjutkan, “sabda Nabi ‘tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca
Faatihatul Kitaab‘ jika kita terapkan pada tiga jenis penafian tadi, maka
kita dapati ada orang yang shalat tanpa membaca Al Fatihah. Sehingga tidak
mungkin maksudnya penafian wujud (keberadaan). Sehingga jika ada orang yang
shalat tanpa membaca Al Fatihah, maka shalatnya tidak sah, karena tingkatan
penafian yang kedua adalah penafian keabsahan, sehingga tidak sah shalatnya,
Dan hadits ini umum, tidak dikecualikan oleh apapun. Maka pada asalnya, nash
yang umum tetap pada keumumannya. Tidak bisa dikhususkan kecuali dengan dalil
syar’i, yaitu nash lain, ijma, atau qiyas yang shahih. Dan tidak ditemukan satu
dari 3 macam dalil ini yang mengkhususkan keumuman hadits ‘tidak ada shalat
bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab‘” (Syarhul
Mumthi, 3/297).
Kedua:
Adanya perintah untuk diam ketika mendengarkan bacaan Al Qur’an
Diantaranya firman
Allah Ta’ala:
وَإِذَا
قُرِىءَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila
dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan diamlah agar kamu
mendapat rahmat” (QS. Al A’raf: 204).
Imam Ahmad mengomentari
ayat ini, beliau berkata: “para ulama ijma bahwa perintah yang ada dalam ini
maksudnya di dalam shalat” (Syarhul Mumthi, 3/297). Juga sabda
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:
إنما جُعل
الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ
فأنصِتوا
“sesungguhnya
dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan
menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat,
maka diamlah” (HR. An Nasa-i 981, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i, ashl hadits
ini terdapat dalamShahihain)
Tambahan وإذا قرَأ فأنصِتوا (jika
ia membaca ayat, maka diamlah), diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian
ulama mengatakan ini adalah tambahan yang syadz, Abu Daud berkata:
“tambahan ini ‘jika ia membaca ayat, maka diamlah‘ adalah tambahan yang
tidak mahfuzh, yang masih wahm (samar) bagi saya
adalah Abu Khalid”. Sebagian ulama mengatakan tambahan tersebut adalah tambahan
yang tsabit (shahih). Yangrajih, tambahan
tersebut tsabit, karena
- Abu Khalid perawi hadits tersebut adalah Sulaiman bin Hayyan Al
Ja’fari, ia statusnya shaduq. Abu Hatim berkata: “ia shaduq”,
Ibnu Hajar berkata “shaduq yukhthi’”.
- Tambahan tersebut memiliki jalan lain dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu yang menguatkannya.
- Tambahan pada matan bisa menjadi syadz jika matannya
menyelisihi periwayatan lain yang lebih banyak dan lebih tsiqah.
Adapun tambahan tersebut tidak mengandung penyelisihan atau pertentangan
terhadap periwayatan lain yang lebih tsiqah.
Sehingga menurut
dalil-dalil ini, sebagian ulama mengatakan bahwa makmum wajib diam mendengarkan
imam membaca Al Fatihah dan ayat Al Qur’an.
Ketiga:
Dalam shalat sirriyyah makmum
wajib membaca Al Fatihah
Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani menyatakan, “adapun dalam shalat sirriyyah,
para sahabat telah menetapkan bahwa mereka biasa membaca Al Qur’an ketika itu.
Jabir radhiallahu’anhu berkata:
كنا نقرأ في الظهر والعصر خلف الإمام في الركعتين الأوليين بفاتحة الكتاب
وسورة وفي الأخريين بفاتحة الكتاب
“kami biasa membaca
ayat Al Qur’an dalam shalat zhuhur dan ashar di belakang imam di dua rakaat
pertama bersama dengan Al Fatihah, dan di dua ayat terakhir biasa membaca Al Fatihah
(saja)” (HR. Ibnu Maajah dengan sanad shahih dan terdapat dalam Al
Irwa’ (506))” (Ikhtiyarat
Fiqhiyyah Imam Al Albani, 120).
Sehingga dalam
shalat sirriyyah makmum tetap wajib membaca Al Fatihah secara
lirih dan dalam hal ini masuk dalam keumuman hadits :
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
“tidak ada shalat
bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al
Bukhari 756, Muslim 394)
Tarjih Pendapat
Syaikh Al Albani
memaparkan masalah ini dengan penjelasan yang bagus. Beliau mengatakan, “awalnya,
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallammembolehkan makmum untuk membaca Al
Fatihah di belakang imam dalam shalat jahriyyah. Suatu ketika saat
mereka shalat subuh, para sahabat membaca ayat Al Qur’an dalam shalat hingga
mereka merasa kesulitan. Ketika selesai shalat subuh Nabi bersabda:
لعلَّكم تقرؤُون خلفَ إمامِكم ، قلنا: نعم يا رسولَ اللهِ ، قال : فلا تفعلوا
إلَّا بفاتحةِ الكتابِ فإنَّه لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بها
“mungkin diantara
kalian ada yang membaca Al Qu’ran dibelakangku? Ubadah bin Shamit menjawab: iya,
saya wahai Rasulullah. Nabi bersabda: jangan kau lakukan hal itu, kecuali Al
Fatihah. Karena tidak ada shalat bagi orang yang tidak membacanya“ (HR. Al
Bukhari dalam Juz-nya, Abu Daud, Ahmad, dihasankan oleh At Tirmidzi dan
Ad Daruquthni)
Namun kemudian
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang mereka membaca semua
ayat Al Qur’an dalam shalat jahriyyah. Hal ini sebagaimana suatu
ketika mereka selesai mengerjakan shalat jahriyyah (dalam
suatu riwayat disebutkan itu adalah shalat shubuh), Nabi bersabda:
هل قرأَ معي منكم أحد آنفًا ؟ فقالَ رجلٌ : نعم أَنَا يا رسولَ اللَّه . قالَ
: إنِّي أقولُ : ما لي أنازعُ ؟ قالَ أبو هريرة : فانتهى النَّاسُ عنِ القراءةِ
مَعَ رسولِ اللهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ فيما جهرَ فيهِ رسولُ اللَّهِ صلَّى
اللهُ عليهِ وسلَّمَ بالقراءةِ حينَ سمعوا ذلكَ مِن رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ
عليه وسلَّمَ ، وقرَؤوا فِي أنفسِهمْ سرًّا فيما لم يجهَرْ فيهِ الإمامُ
“apakah diantara
kalian ada yang membaca Al Qur’an bersamaku dalam shalat barusan? Seorang
sahabat berkata: iya, saya wahai Rasulullah. Nabi bersabda: saya bertanya
kepadamu, mengapa bacaanku diselingi?”
Lalu Abu Hurairah
mengatakan: “semenjak itu orang-orang berhenti membaca Al Qur’an bersama
Nabi Shallallahu’alahi Wasallam dalam shalat yang beliau Shallallahu’alaihi
Wasallam mengeraskan bacaannya, yaitu ketika para makmum mendengarkan
bacaan dari Nabi tersebut. Dan mereka juga membaca secara sirr (samar)
pada shalat yang imam tidak mengeraskan bacaannya”” (HR Malik, Al Humaidi, Al
Bukhari dalam Juz-nya, Abu Daud, Ahmad, dan Al Mahamili, dihasankan
oleh At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Abu Hatim Ar Razi dan Ibnu Hibban dan
Ibnul Qayyim)
Beliau Shallallahu’alahi
Wasallam menjadikan sikap diam mendengarkan bacaan imam sebagai
bentuk i’timam yang sempurna terhadap imam. Beliau Shallallahu’alahi
Wasallam bersabda:
إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ،
وإذا قرَأ فأنصِتوا
“sesungguhnya
dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan
menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat,
maka diamlah” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Muslim, Abu ‘Awanah, Ar
Ruyani dalam Musnad-nya)
Sebagaimana Nabi Shallallahu’alahi
Wasallam juga menganggap istima‘ (mendengarkan bacaan
imam) itu sudah mencukupi tanpa perlu membaca. Sebagaimana sabdanya:
مَن كان له إمامٌ فقراءةُ الإمامِ له قراءةٌ
“barangsiapa yang
memiliki imam, maka bacaan imam itu adalah bacaan baginya” (HR. Ibnu Abi
Syaibah, Ad Daruquthni, Ibnu Majah, Ath Thahawi, Ahmad, dari jalan yang banyak
secara musnad maupun mursal. Ibnu Taimiyah menganggap hadits ini kuat dalam
kitab Al Furu‘ karya Ibnu ‘Abdil Hadi, dan hadits ini dishahihkan
sebagian jalannya oleh Al Bushiri)”
(selesai nukilan
perkataan Al Albani, dinukil dari Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani,
119-120).
Maka, pendapat ke empat
adalah yang nampaknya lebih kuat. Membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam
dan munfarid dalam shalat sirriyyahdan jahriyyah,
namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak.
Dalam shalat jahriyyah, makmum cukup diam mendengarkan bacaan imam.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan: “dalam masalah apakah makmum
membaca bacaan shalat (ketika imam sedang membaca secara jahr),
pendapat yang paling pertengahan adalah: jika makmum mendengar imam sedang membaca
(secara jahr), maka ia wajib mendengarkan dan diam. Makmum tidak
membaca Al Fatihah ataupun bacaan lain. Jika makmum tidak mendengarkan imam
membaca (karena dibaca secara sirr), maka ia wajib membaca Al
Fatihah dan bacaan tambahan lainnya. Inilah pendapat jumhur salaf dan khalaf.
Ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan murid-muridnya, Imam Ahmad bin
Hambal dan mayoritas muridnya, juga salah satu pendapat dari Imam Asy Syafi’i
yang dikuatkan oleh sebagian muhaqqiq dari kalangan
murid-murid beliau, juga pendapat Muhammad bin Al Hasan serta murid-murid Imam
Abu Hanifah yang lainnya” (Majmu’ Fatawa, 18/20).
Namun perlu kami
tekankan bahwa ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah yang
seharusnya kita mengormati pendapat yang menyatakan bahwa makmum tetap wajib
membaca Al Fatihah dalam semua shalat. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa
membaca Al Fatihah hukumnya tidak wajib sama sekali secara mutlak atau bahkan
makruh bagi makmum, maka ini pendapat yang bertentangan dengan banyak dalil
yang ada, sehingga tidak bisa kita toleransi.
C.
Keadaan Masbuk Terkait dengan Kewajiban Membaca
al-Fatihah
Apabila orang yang masbuk dalam shalat berjamaah mendapati imam
masih berdiri, ia membaca al-Fatihah karena hukumnya wajib baginya. Namun,
apabila ia mendapati imam telah ruku’, ia bertakbir kemudian ruku’, tanpa
membaca al-Fatihah. Saat imam bangkit dari ruku’, ia pun mengikutinya. Dengan
ini, ia terhitung beroleh rakaat shalat tersebut walaupun ia tidak membaca
al-Fatihah, karena keadaannya sebagai masbuk yang mendapati imam telah ruku’
menggugurkan kewajibannya untuk membaca al-Fatihah.
Demikian pula apabila orang yang masbuk ini sempat mendapati imam
masih berdiri untuk membaca surah dalam Al-Qur’an, namun tidak memungkinkan
baginya menyelesaikan bacaan al-Fatihah karena imam ternyata telah ruku’. Ia
pun bertakbir dan ikut ruku’ bersama imam. Adapun al-Fatihah yang belum selesai
dibacanya telah gugur darinya.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Abu Bakrah z dalam
Shahih al-Bukhari berikut ini.
أَنَّهُ انْتَهَى إِلَى النَّبِيِّ وَهُوَ
رَاكِعٌ فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ فَقَالَ: زَادَكَ اللهُ حِرْصًا وَلاَ
تَعُدْ
“Ia sampai ke Nabi n (ketika masuk ke masjid)
dalam keadaan Nabi sedang ruku’. Ia pun ruku sebelum sampai ke dalam shaf. Lalu
diceritakan hal itu kepada Nabi n. Beliau pun bersabda, ‘Semoga Allah menambah
semangatmu untuk berbuat kebaikan, namun jangan kamu ulangi perbuatanmu ’.” (HR. al-Bukhari no. 783)
Ketika Abu Bakrah z masuk ke dalam shalat berjamaah, ia tidak
mendapati qiyam (berdiri untuk membaca surah) karena imam telah ruku’, padahal
qiyam merupakan saat dibacanya al-Fatihah. Berarti, gugur darinya kewajiban
membaca al-Fatihah karena telah berlalu tempatnya. (Fathu Dzil Jalali wal
Ikram, 2/69—70)
Kita katakan kewajibannya gugur karena Nabi n tidak menyuruh Abu
Bakrah z menambah satu rakaat dari shalatnya tersebut. Artinya, Abu Bakrah
teranggap beroleh rakaat pertama yang didapatkannya dalam keadaan imam telah
ruku’ dan ia sendiri sempat ruku’ bersama imam. Inilah pendapat yang rajih
(kuat) menurut kami.
Dalam masalah ini ada pendapat yang lain, yaitu ketika masbuk tidak
mendapatkan al-Fatihah sama sekali ataupun tidak sempurna membacanya, ia tidak
teranggap mendapatkan satu rakaat dalam shalat. Pendapat ini dipegangi oleh
sebagian muta’akhirin (orang-orang yang belakangan) seperti al-Imam
asy-Syaukani dalam Nailul Authar (2/67—69) dan yang lainnya—semoga Allah l
merahmati mereka semua—.
Fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz t
Al-Imam Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t berkata, “Ulama berbeda
pendapat tentang wajibnya membaca al-Fatihah bagi makmum. Yang rajih, makmum
[3] wajib membacanya berdasarkan keumuman sabda Nabi n:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ
بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.”
(Muttafaqun alaihi)
Juga sabda beliau n:
لَعَلَّكُمْ تَقْرَؤُوْنَ خَلْفَ
إِمَامِكُمْ؟ قَالُوا: نَعَمْ. قَالَ: لاَ تَفْعَلُوا إِلاَّ بِفَاتِحَةِ
الْكِتَابِ، فَإِنَّهُ لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا
”Tampaknya di antara kalian ada yang membaca di belakang imam
kalian?” Mereka menjawab, “Ya, kami melakukannya, wahai Rasulullah.” Beliau pun
bersabda, “Jangan kalian lakukan hal itu selain pada Fatihatul Kitab, karena
tidak ada shalat bagi orang yang tidak membacanya.” (HR. Abu Dawud dan
selainnya dengan sanad yang hasan)
Jika imam tidak diam dalam shalat jahriah maka makmum membaca
al-Fatihah ini walaupun dalam keadaan imam sedang membaca Al-Qur’an.
Setelahnya, dia diam agar bisa mengamalkan dua hadits yang disebutkan di atas.
Apabila makmum lupa atau tidak tahu tentang wajibnya membaca al-Fatihah, gugur
darinya kewajiban tersebut, seperti orang yang masuk dalam jamaah dalam keadaan
imam sedang ruku’, ia ruku’ bersama imam dan ia mendapat satu rakaat bersama
imam, menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat ulama. Ini adalah
pendapat mayoritas ahlul ilmi berdasarkan hadits Abu Bakrah ats-Tsaqafi z.
Disebutkan bahwa beliau z mendatangi masjid dalam keadaan Nabi n sedang ruku’.
Ia pun ruku’ sebelum masuk ke dalam shaf, kemudian berjalan dalam keadaan ruku’
untuk bergabung dalam shaf. Nabi n pun bersabda kepadanya setelah mengucapkan
salam dari shalat beliau:
زَادَكَ اللهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ
“Semoga Allah menambah semangatmu untuk berbuat kebaikan, namun jangan kamu ulangi perbuatanmu.”
Nabi n tidak menyuruh Abu Bakrah z mengganti rakaat tersebut. Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari dalam Shahih-nya.
Adapun hadits:
قِرَءَةُ الْإِمَامِ قِرَاءَةٌ لِمَنْ خَلْفَهُ
“Bacaan imam adalah bacaan bagi orang yang di belakangnya.”
adalah hadits dhaif yang tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.
Hal ini telah diperingatkan oleh ulama hadits. Seandainya hadits ini sahih, dia
ditempatkan sebagai hadits umum yang dikhususkan dengan perintah membaca
al-Fatihah (yakni selain al-Fatihah maka bacaan imam adalah bacaan makmum).
Wabillahi at-taufiq.” (Majmu’ Fatawa libni Baz, 11/226—227)
D. Hukum
Membaca Basmalah Di Awal Surat Al-Fatihah Dalam Shalat Jahr
Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca basmalah
(bismillahirrahmanirrahim) diawal surat al Fatihah dalam shalat fardlu jahr
(dengan suara keras, yaitu maghrib, isya’ dan subuh). Perbedaan ini disebabkan perbedaan
ulama tentang apakah basmalah itu termasuk ayat dari setiap surat dalam al
Qur’an termasuk surat al Fatihah, atau tidak termasuk ayat dalam surat al
Qura’an sama sekali. Sebab Rasulullah saw kadangangkala mengeraskan bacaan
basmalah dan kadangkala juga tidak mengeraskan bacaan basmalah.
Hadits
yang tidak menganjurkan baca basmalah:
عَنْ أَنَسٍ كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَانُوا يَفْتَتِحُونَ الْقِرَاءَةَ بالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
”Dari Anas bahwa Nabi saw dan Abu Bakar dan ‘Umar dan Usman, semuanya memulai bacaannya dengan “al-hamdu lilla-hi robbil ‘a-lami-n”. (HR.Tirmidzi, hadits no. 246)
Hadits yang
menganjurkan baca basmalah:
كُنْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ ، فَقَرَأَ : بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ، ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى بَلَغَ {وَلا الضَّالِّينَ} قَالَ : آمِينَ ، وَقَالَ: النَّاسُ آمِينَ ، وَيَقُولُ كُلَّمَا سَجَدَ: الله أَكْبَرُ ، وَإِذَا قَامَ مِنَ الْجُلُوسِ قَالَ: الله أَكْبَرُ ، وَيَقُولُ إِذَا سَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لأَشْبَهُكُمْ صَلاَةً بِرَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم
“Aku shalat berada di belakang Abu Hurairah, beliau membaca bismillahirrahmanirrahim, lalu membaca ummul qur’an sampai pada ayat walaadldlaalliin dan membaca amin, kemudian orang-orang juga mengikutinya membaca amin. Beliau ketika akan sujud membaca; Allahu Akbar dan ketika bangun dari duduk membaca; Allahu Akbar. Setelah salam beliau berkata: “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang shalatnya paling menyerupai Rasulullah di antara kalian.” [H.R. Ad-Daruqutni, hadits no. 14).
Adapun pendapat
ulama mazhab tentang membaca basmalah diawal surat al Fatihah dalam shalat jahr
sebagai berikut
1. Penganut mazhab Hanafi (al
hanafiyyah): Basmalah dibaca secara pelan diawal surat al Fatihah setiap shalat
fardlu, baik dalam shalat sirr (dengan suara kecil, yaitu zuhur dan ’ashar)
atau shalat jahr (dengan suara keras, yaitu maghrib, isya’ dan subuh). Sebab
basmalah tidak termasuk ayat dalam surat al Fatihah dan surat-surat lainnya
dalam al Qur’an al Karim meskipun ia termasuk bagian dari ayat-ayat dalam al
Qur’an
2. Penganut mazha Maliki (al
malikiyyah): Hukumnya makruh membaca basmalah diawal surat al Fatihah dalam
shalat fardla, baik shalat sirr atau shalat jahr. Sedangkan dalam shalat sunnah
hukumnya boleh membaca basmalah diawal surat al Fatihah
3. Penganut mazhab Syafi’i (asy
syafi’iyyah): Basmalah termasuk ayat dari surat al Fatihah. Maka hukumnya wajib
membaca basmalah diawal surat al fatihah, sehingga wajib dibaca keras dalam
shalat jahr dan dibaca pelan dalam shalat sirr.
4. Penganut mazhab Hanbali (al
hanabilah): Hukumnya sunnah membaca basmalah diawal surat al fatihah secara
pelan, baik dalam shalat sirr atau shalat jahr. Sebab basmalah tidak termasuk
ayat dari surat al Fatihah. Imam
Ash-Shan’ani berkata : Telah terjadi perdebatan panjang di kalangan ulama dalam
masalah ini karena perbedaan madzhab. Namun yang lebih logis ialah bahwa Nabi
Muhammad saw kadang membacanya dengan suara keras dan kadang membacanya dengan
suara lirih. [Subulussalam 1, hal. 459]. Ibnu Rusyd berkata:
اختلفوا في قراءة بسم الله الرحمن الرحيم في افتتاح القراءة في الصلاة، فمنع ذلك مالك في الصلاة المكتوبة جهرا كانت أو سرا، لا في استفتاح أم القرآن ولا في غيرها من السور، وأجاز ذلك في النافلة. وقال أبو حنيفة والثوري وأحمد يقرؤها مع أم القرآن في كل ركعة سرا، وقال الشافعي: يقرؤها ولا بد في الجهر جهرا وفي السر سرا.
“Bacaan basmalah sebelum membaca Al-Fatihah dan ayat al-Quran diperselisihkan para fuqaha. Malik berpendapat bahwa bacaan basmalah dalam semua shalat fardu itu dilarang. Larangan itu termasuk pula ketika shalat jahr (suara bacaan keras) atau sirr (bacaan tidak diperdengarkan) untuk surat Al-Fatihah atau ayat-ayat Al-Quran. Namun bacaan basmalah diperkenankan untuk shalat sunat. Abu Hanifah, Tsauri, dan Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa bacaan basmalah hanya dibaca sirr bersama Al-Fatihah untuk setiap rekaat. Sedang Syafi’i berpendirian bahwa bacaan basmalah itu harus dibaca ketika shalat jahr atau sirr”. [Bidayatul Mujtahid 1, hal. 272]
Menurut
penulis selagi hukum itu dalam wilayah khilafiyyah maka sah memilih hukum yang
dianggap kuat dalilnya. Secara garis besar bahwa membaca basmalah adalah
barokah, tidak ada yang melarang untuk dibacanya diawal surat al Fatihah dalam
shalat sirr atau jahr, serta tidak sampai membatalkan shalat. Karenanya Ibnu
Katsir berkata :
فهذه مآخذ الأئمة رحمهم الله في هذه المسألة وهي قريبة لأنهم أجمعوا على صحة من جهر بالبسملة ومن أسر ولله الحمد والمنة
”Demikianlah dasar-dasar rujukan pendapat para imam mengenai masalah ini, dan tidak terjadi perbedaan pendapat, karena mereka telah sepakat bahwa shalat bagi orang yang men-jahr-kan atau yang men-sirr-kan basmalah adalah sah. Segala Puji bagi Allah”. [Tafsir Ibnu Katsir 1, hal. 20]
HR. Al Bukhari 756, Muslim 394
HR. Ibnu Majah 693, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah
QS. Al Muzammil: 20
HR. Muslim 396
Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/127
Syarhul Mumthi, 3/296
Ibid
3/297
QS. Al A’raf: 204
HR. An Nasa-i 981
Ikhtiyarat Fiqhiyyah
Imam Al Albani, 120
HR. Al Bukhari 756,
Muslim 394
H.R. Ad-Daruqutni, hadits no. 14
Bidayatul Mujtahid 1, hal. 272
Tafsir Ibnu
Katsir 1, hal. 20
0 Response to "Masalah Fatihah dan Basmalah"
Post a Comment